BELAJAR DARI “JOJO”
Minggu, 9 September 2018
BELAJAR DARI “JOJO”
Markus 7: 31-37
Beberapa tahun lalu, saya tinggal di panti asuhan. Di sana saya bertemu banyak orang cacat fisik. Saya kagum dengan seorang anak kecil yang bukan saja tuli tetapi juga tidak bisa bicara. Komunikasi kami waktu itu hanya dengan bahasa simbol. Misalnya dengan memperagakan cara mengambil sendok dan memasukkannya ke mulut untuk mengatakan makan. Sedangkan untuk minum kami memperagakan cara memegang gelas lalu memasukkannya ke mulut.
Kekaguman saya makin besar saat saya tahu bahwa dia mengerti bahasa simbol saya. Kedua bahasa simbol di atas hanyalah contoh dan biasa kami gunakan dalam komunikasi sehari-hari dengan mereka. Reaksinya masih saya ingat saya dia mengerti bahasa saya: dia akan tersenyum dan melihat saya.
Dalam Injil hari ini, kita berjumpa dengan orang semacam ini. Orang-orang membawanya pada Yesus. Sayangnya dia tidak bisa berkomunikasi dengan Yesus. Mulut dan telinganya tertutup. Yesus pun memperlakukannya dengan cara yang khusus. Jika dalam mukjizat lainnya, Yesus membuatnya di tempat umum, kali ini dia membawa orang ini ke tempat khusus. Di sana, Yesus menyembuhkan dengan banyak beraksi dan bukan dengan kata-kata. Alhamdulilah, akhirnya orang ini sembuh.
Di akhir Injil, kita melihat betapa bahagianya orang ini karena dia bisa bicara dan mendengar. Dia kini bukan lagi terpisah dari komunitasnya tetapi menjadi anggota komunitas. Yang lain pun bisa bicara dengannya.
Paus Fransiskus berkali-kali mengajak kita untuk merayakan kebahagiaan kita menjadi orang Kristen, orang Katolik, orang yang sudah dibaptis, para pengikut Kristus.
Menarik apa yang dilakukan Jonathan “Jojo” pada Asian games yang lalu. Dia membuat Tanda Salib di hadapan publik begitu dia menjadi pemenang. Dia bahagia dan dia mengungkapkan dan menunjukkan kebahagiaannya kepada publik. Ia tidak takut dibully, kamu Katolik, kamu Kristen, dan sebagainya. Baik jika kita belajar dari Jojo.
Selamat hari Minggu.
Komentar
Posting Komentar